Koropak.com – Di tengah kemajuan pesat teknologi digital, konsep Smart City semakin menjadi topik hangat di berbagai kalangan.
Smart City tidak hanya dianggap sebagai tren terkini, tetapi juga menjadi kebutuhan mendesak bagi kota-kota besar di Indonesia. Ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi layanan publik, mengurangi kemacetan, dan mengelola sumber daya dengan lebih baik.
Dengan kata lain, penerapan Smart City lebih dari sekadar inovasi teknologi—ini adalah langkah strategis untuk menciptakan kota yang lebih baik dan berkelanjutan.
Namun, di Indonesia Timur, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), pengembangan Smart City sering menghadapi kontradiksi yang mencolok.
Di satu sisi, ada ambisi besar untuk menerapkan tekonologi cerdas guna meningkatkan kualitas hidup Masyarakat. Namun di sisi yang lain, realitas infrastruktur yang belum memadai justru menjadi penghalang utama.
Anomali ini tercermin dalam ketidakseimbangan antara visi digitalisasi dan kondisi nyata yang masih tertinggal, mulai dari keterbatasan akses internet hingga kurangnya sumber daya manusia yang terampil.
Alih-alih menjadi solusi untuk masalah perkotaan, Smart City di NTT berisiko menjadi proyek ambisius yang kehilangan relevansi dan dampak nyata bagi masyarakat.
Smart City dan Tantangannya
Smart City merupakan konsep kota berbasis teknologi digital untuk mengelola berbagai aspek kehidupan dengan lebih efisien. Teknologi ini diterapkan untuk meningkatkan layanan publik, mengelola transportasi, energi, air, dan berbagai fasilitas lainnya.
Sebagai contoh, aplikasi Jakarta Kini (JAKI) memungkinkan warga Jakarta melaporkan masalah kota, seperti jalan berlubang atau lampu jalan yang rusak, serta mendapatkan informasi lalu lintas secara realtime.
Namun, di NTT, tantangan utama penerapan Smart City di NTT infrastruktur teknologi yang belum memadai. Kecepatan internet yang lambat di banyak daerah seringkali menghambat efektivitas penggunaan aplikasi cerdas, seperti layanan transportasi digital atau sistem pembayaran nirsentuh.
Akibatnya, manfaat dari teknologi ini tidak dapat dirasakan secara maksimal, dan tujuan untuk meningkatkan efisiensi serta kenyamanan kehidupan masyarakat pun menjadi sulit tercapai. Padahal jaringan internet yang cepat dan stabil adalah tulang punggung dari Smart City.
Menurut filsuf teknologi, Marshal McLuhan, teknologi adalah eksistensi dari tubuh manusia, dan masyarakat harus mampu mengadaptasi dan menyerap teknologi tersebut agar bisa berfungsi dengan baik dalam konteks sosialnya.
Ketidakmampuan infrastrukur untuk mendukung teknologi yang ada menciptakan kesejangan antara harapan dan kenyataan. McLuhan menunjukkan bahwa teknologi hanya dapat bermanfaat jika diintegrasikan dengan baik dalam struktur sosial yang ada.
Ini relevan dalam konteks NTT, di mana tantagan infrastruktur menjadi penghalang utama dalam mewujudkan visi Smart City yang ideal. Selain infrastrukur digital, infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, dan bangunan, perlu diadaptasi untuk mendukung teknologi Smart City.
Misalnya, untuk penerangan teknologi transportasi pintar, infrastruktur jalan harus dilengkapi sensor dan perangkat komunikasi yang dapat memantau lalu lintas dan mengarahkan kendaraan. Di kota-kota yang infrastrukturnya masih belum belum terintegrasi dengan teknologi, ini menjadi tantangan besar.
Pembangunan infrastruktur tambahan seringkali memerlukan biaya tinggi dan Waktu yang lama, terutama jika harus dimulai dari non. Tanpa dukungan infrasruktur yang memadai, teknologi cerdas tidak akan mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat.
Keterbatasan sumber daya manusia yang terampil dalam teknologi informasi juga menjadi masalah signifikan. Misalnya, peluncuran Bemo Digital di Kupang merupakan langkah maju dalam mendukung digitalisasi transportasi.
Namun, keberhasilan program ini sangat tergantung pada kamampuan lokal dalam merencanakan, mengelola, dan memelihara infrastruktur teknologi tersebut.
Tanpa SDM yang cukup, ada risiko bahwa teknoligi ini tidak akan berfungsi secara optimal, atau bahkan akan menghadapi kesulitan dalam adaptasi dan penggunaan sehari-hari.
Albert Borgmann, seorang filsuf teknologi berpendapat, teknologi yang tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan lokal tidak hanya gagal dalam implementasinya, tetapi juga dapat memperlebar jurang ketidaksetaraan sosial.
Ini menyoroti pentingnya pelatihan dan pendidikan yang memadai untuk meningkatkan kapasitas SDM lokal, sehingga mereka dapat secara mandiri mengelola dan mengembangkan solusi teknologi yang sesuai dengan konteks lokal.
Penggunaan Bemo Digital di Kupang, dengan sistem pembayaran nirsentuh berbasis Qris untuk angkutan umum, menunjukan upaya untuk mengintegrasikan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tanpa pelatihan dan pendidikan memadai bagi pengemudi dan penumpang, efektivitas program tersebut menjadi terbatas.
Ketika perangkat mengalami gangguan atau pengguna tidak memahami cara menggunakannya, teknologi yang seharusnya mempermudah justru menjadi sumber frustrasi.
Tanpa peningkatan kapasitas SDM, digitalisasi transportasi mungkin hanya akan meningkatkan ketergantungan pada teknologi yang tidak sepenuhnya dimanfaatkan, dan dalam jangka panjang, dapat memperlebar ketimpangan antara mereka yang mampu beradaptasi dengan teknologi dan mereka yang tertinggal.
Strategi Holistik
Pengembangan Smart City di NTT harus disambut dengan baik, meskipun masih menjadi tantangan serius. Diperlukan pendekatan menyeluruh agar penerapan teknologi benar-benar dapat berfungsi optimal dan sesuai konteks NTT.
Kesuksesan Smart City memerlukan sinergi antara berbagai akspek untuk mencapai Solusi yang efektif dan efisien.
Memperkuat infrastruktur teknologi, seperti memastikan jaringan internet yang stabil harus menjadi prioritas utama. Dalam konteks ini, kebijakan publik harus mendorong adopsi teknologi yang sesuai dengan kondisi spesifik NTT.
Alih-alih hanya mengimpor teknologi dari luar, pemerintah harus mengembangkan solusi teknologi yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan infrasruktur yang ada di NTT
Selain itu, program pelatihan dan pendidikan untuk meningkatkan kapasitas SDM di bidang teknologi sangatlah krusial. Dengan meningkatkan keterampilan ini, teknologi yang diterapkan dapat berfungsi dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan dan konteks local masyarakat.
Dengan demikian, teknologi tersebut dapat benar-benar memberi manfaat maksimal, memberdayakan masyarakat, dan mencegah ketergantungan pada bantuaneksternal yang berkelanjutan.
Dalam rangka itu, partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan smart city juga penting. Melibatkan masyarakat dalam proses ini bisa meningkatkan trust, rasa memiliki, dan tanggungjawab bersama terhadap teknologi yang dikembangkan.
Hal ini memungkinkan pengembangan Smart City yang lebih inklusif, di mana teknologi tidak hanya menjadi alat modernisasi, tetapi juga menjadi solusi yang berdampak nyata dan positif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Untuk memastikan implementasi kebijakan ini berjalan sesuai rencana, diperlukan badan independent untuk mengawasi dan mengevaluasi program Smart City ini.
Evaluasi berkala akan memastikan bahwa program-program yang dijalankan benar-benar memberikan manfaat yang diharapkan dan dapat disesuaikan dengan dinamika di lapangan.
Dengan pendekatan menyeluruh ini, Smart City di NTT dapat menjadi solusi efektif yang meingkatkan kualitas hidup masyarakat, bukan sekadar proyek ambisius yang kehilangan relevansi.
Harapannya, pengembangan Smart City di NTT bisa menjadi contoh nyata dari pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan menciptakan kota yang lebih baik dan berkelanjutan, dengan dampak positif yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Ernestus Holivil – Dosen Administrasi Publik FISIP Undana Kupang