Opini

Melirik Barang Milik Negara sebagai Alternatif Pendapatan Negara

×

Melirik Barang Milik Negara sebagai Alternatif Pendapatan Negara

Sebarkan artikel ini
Melirik Barang Milik Negara sebagai Alternatif Pendapatan Negara
Doc. Foto: Medcom.id

KOROPAK.COM – Pelemahan daya beli maupun deflasi berturut-turut menjadi sebuah hambatan di tengah upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan negara. Pertumbuhan penerimaan menjadi sebuah keharusan tatkala tuntutan belanja pemerintah yang juga mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Namun untuk mencapai hal tersebut, pemilihan obyek penerimaan menjadi lebih selektif dengan mempertimbangkan dampak yang akan terjadi. Diperlukan strategi yang tepat untuk mencapai target penerimaan yang telah ditetapkan namun tetap menjaga masyarakat tenang tanpa ada rasa ketakutan atas kenaikan pungutan yang mungkin akan dialaminya.

Ekstensifikasi sumber penerimaan baru harus terus dilakukan dengan mempertimbangkan dampak psikologis bagi masyarakat khususnya bagi yang telah patuh dalam memenuhi kewajibannya. Salah satu yang masih dapat dioptimalkan sebagai sumber yang potensial adalah pengelolaan barang milik negara (BMN).

Pengelolaan BMN menjadi salah satu sumber PNBP yang telah berkontribusi pada sisi pendapatan negara. Dari data LKPP audited tahun 2023, pendapatan dari pemanfaatan BMN dan penggunaan sarana dan prasarana hanya menyumbang sebesar Rp 808,3 miliar.

Sedangkan biaya pemeliharaan yang disediakan untuk seluruh BMN milik pemerintah pusat mencapai Rp 48,1 triliun per tahun. Apabila dijumlahkan besaran aset yang dimiliki maka nilai aset BMN berupa peralatan dan mesin serta gedung dan bangunan dalam LKPP 2023 adalah Rp 1.407,9 triliun.

Pengelolaan BMN merupakan obyek PNBP yang prospektif mengingat besaran aset yang dimiliki oleh negeri ini. Selain itu, penerimaan PNBP dari BMN memiliki dampak ke masyarakat paling minimal dibandingkan dengan obyek PNBP yang lain.

Hal tersebut disebabkan karena PNBP dari obyek BMN merupakan hal yang sifatnya alternatif bukan merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat. Beberapa contoh BMN yang biasa digunakan oleh masyarakat adalah sewa aula, gedung pemerintah, auditorium, dan sejumlah BMN lainnya.

Sebagai ilustrasi penggunaan auditorium milik pemerintah untuk kegiatan pesta bukan merupakan sebuah kewajiban. Terdapat alternatif auditorium sejenis yang bisa dijadikan pilihan dalam hal tarif yang dipungut oleh pemerintah terlalu mahal.

Atas dasar tersebut maka pengenaan tarif atas sewa tersebut memiliki dampak minimal bagi masyarakat luas. Masyarakat bisa memilih untuk memakai auditorium lain yang bisa memberikan tawaran yang lebih menarik.

Fakta ini jelas sangat kontras dengan obyek PNBP non BMN, di mana tidak ada entitas lain yang menjadi pesaing. Akibatnya ketika obyek PNBP mengalami kenaikan tarif akan berdampak secara luas karena masyarakat tidak memiliki pilihan lain.

Kontribusi PNBP atas BMN potensial untuk ditingkatkan mengingat masih terdapat ruang untuk melakukan penyempurnaan regulasi. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk peningkatan capaian PNBP di antaranya berkaitan dengan tarif, insentif bagi unit pemungut, serta penambahan jumlah layanan yang bisa diPNBPkan.

Unsur tarif PNBP adalah hal yang mendasar perlu disempurnakan khususnya dalam pemanfaatan BMN. Selama ini dalam praktik di lapangan, pengenaan tarif atas pemanfaatan BMN masih kurang adaptif khususnya bila disandingkan dengan pesaing yang ada.

Pada kasus sewa auditorium misalnya, besaran tarif yang ditetapkan dihasilkan dari kalkulasi matematis atas luas dengan indeks tarif. Penggunaan metode tersebut memiliki ambiguitas pada tataran pelaksanaan di lapangan.

Pada lokasi strategis di mana BMN tersebut berada, penentuan besaran tarif dengan kalkulasi matematis akan membuat harga sewa yang diterima menjadi lebih rendah dari pesaing yang letaknya berdekatan. Dilema terjadi ketika harga yang ditetapkan lebih rendah dari para pesaing, terdapat potensi pendapatan yang hilang.

Hal itu disebabkan karena tarif yang ditetapkan merupakan angka fixed yang tidak bisa disesuaikan baik naik atau turun. Dampak yang kemudian terjadi adalah peralihan pengguna dari pesaing ke sewa BMN.

Dengan tarif yang lebih rendah maka selisih pendapatan yang diperoleh atas peningkatan penggunaan menjadi tidak imbang dengan usaha yang dilakukan alias menambah capek dengan pendapatan yang minim. Pilihan menaikkan tarif jelas tidak bisa dilakukan karena akan menjadi temuan pemeriksaan berupa pungutan tanpa dasar hukum.

Begitu juga ketika lokasi BMN ada di tempat yang kurang strategis, besaran tarif yang ditetapkan akan lebih tinggi daripada tarif pesaing. Menjadi sebuah konsekuensi bahwa penyewa akan memilih lokasi lain yang lebih strategis dibandingkan menyewa BMN yang dimiliki oleh pemerintah.

Memungut sewa lebih rendah daripada tarif yang ditetapkan akan menyebabkan temuan pemeriksa. Hasilnya adalah kewajiban untuk menagih kekurangan biaya atas sewa yang telah terjadi.

Reformulasi penyusunan tarif atas penggunaan BMN diperlukan agar tidak terjadi hilangnya potensi pendapatan. Penetapan tarif sewa selayaknya disesuaikan dengan perhitungan akuntansi biaya khususnya dengan merujuk pada pendekatan besaran biaya pemeliharaan serta biaya overhead yang dibutuhkan.

BACA JUGA:  Penyimpangan dalam Pengembangan Smart City di Nusa Tenggara Timur

Kepemilikan BMN oleh pemerintah pada dasarnya bertujuan untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi, namun tatkala tingkat penggunaan BMN tersebut minim dan masih bisa dioptimalkan maka di situlah muncul keinginan untuk memperoleh pendapatan dari penggunaan BMN tersebut.

Secara sederhananya keberadaan BMN bukan dengan sengaja dimiliki untuk disewakan, namun lebih kepada alasan untuk meningkatkan usage serta mengurangi beban pemeliharaan yang timbul atas kepemilikan BMN tersebut.

Apa dampak yang bisa diambil dengan reformulasi penyusunan tarif? Pertama untuk meminimalisasi hilangnya potensi pendapatan akibat tarif yang tidak adaptif dengan kondisi di lapangan. Kedua berupa pengalihan beban pemeliharaan BMN yang tadinya dibebankan sepenuhnya pada pada APBN menjadi beralih pada penyewa BMN.

Selanjutnya penyempurnaan regulasi berkaitan dengan insentif bagi unit pemungut. Insentif atas pemungutan PNBP bisa diaplikasikan tidak hanya bagi capaian pendapatan atas sewa BMN, namun juga bagi obyek PNBP lain selain sewa BMN.

Selama ini insentif yang diberikan bagi instansi pemungut masih berupa imbalan dalam bentuk non-finansial. Memang terdapat unsur honorarium atas pengelola PNBP di masing-masing unit, namun besaran yang diterima belum mampu memotivasi unit penghasil untuk terus berimprovisasi terhadap pencapaian target.

Pemberian insentif finansial secara proporsional bagi unit penghasil memang harus dilakukan dengan fokus pada target yang harus dicapai. Atas dasar capaian maka akan membawa konsekuensi bagi unit penghasil untuk selalu berbenah diri agar pengguna layanan tidak beralih ke tempat lain atau merumuskan berbagai inovasi dalam hal tren pendapatan mengalami penurunan.

Bagi PNBP yang berasal dari obyek pelayanan pemerintah, pemberian insentif secara proporsional bagi unit penghasil akan membawa persaingan secara sehat antar unit-unit penyelenggara layanan karena masing-masing unit akan memberikan layanan terbaik baik pelanggan.

Pascapemberlakuan KTP elektronik, sejumlah layanan pemerintah dapat dilakukan di manapun tanpa ada sekat geografis yang artinya setiap unit memiliki kesempatan untuk memperebutkan pelanggan yang sama. Kuncinya tentu saja siapa yang memberikan layanan terbaik akan dipilih oleh pengguna layanan.

Langkah terakhir berupa penambahan layanan yang bisa diPNBPkan. Ekstensifikasi mungkin merupakan sebuah cara yang bisa menimbulkan gejolak jika salah menyampaikan karena akan dianggap berlaku untuk semua kalangan.

Namun sebenarnya ekstensifikasi tersebut bisa ditempuh selama kita terbuka pada sektor yang selama ini dianggap “tabu”. Apa contoh hal yang dianggap “tabu”? penggunaan senjata api misalnya.

Menembak termasuk salah satu hobi yang perkembangannya lambat di negeri ini. Meskipun hobi tersebut identik dengan sifat maskulin, ternyata penghobi dunia menembak tidak hanya monopoli kaum Adam.

Segmen penghobi dunia menembak mencakup populasi yang signifikan di kalangan masyarakat sipil. Namun regulasi di negeri ini membatasi akses untuk penghobi menikmati dunia menembak. Hal yang terjadi kemudian adalah adanya potensi devisa yang hilang karena penghobi menyalurkannya ke negara lain seperti Vietnam atau Kamboja.

Bagaimana agar regulasi terkait pembatasan penggunaan senjata api, kaitannya dengan hobi menembak, serta capaian PNBP dapat berlangsung secara harmonis?. Langkah paling mudah adalah membuka kesempatan bagi lapangan tembak milik TNI/Polri sebagai sumber PNBP atas sewa BMN.

Sejumlah lapangan tembak milik TNI/Polri hanya dipakai pada waktu-waktu tertentu, bukan setiap hari. Termasuk penggunaan senjata api di lingkungan TNI/Polri dilakukan pada periode tertentu bukan setiap hari.

Di.saat yang sama, terdapat instruktur menembak pada masing-masing unit yang memiliki kemampuan untuk melatih para penghobi dunia menembak namun terhalang ketentuan untuk memberikan pelatihan bagi masyarakat sipil.

Pembukaan lapangan tembak milik TNI/Polri sebagai sumber PNBP hanya akan berhasil dengan syarat berupa tersedianya senjata yang bisa digunakan oleh penghobi, tersedianya instruktur yang memandu, serta tersedianya munisi yang bisa dijual dan dipergunakan terbatas pada lapangan tembak tersebut.

Ketika prasyarat ini terpenuhi maka akan selaras dengan regulasi atas pembatasan penggunaan senjata api di kalangan masyarakat sipil. Terdapat beberapa keuntungan yang bisa dipetik jika lapangan tembak bisa diPNBPkan.

Pertama berkaitan dengan bertambahnya alternatif sumber pendapatan bagi negara. Kedua berupa terbentuknya atlet menembak atau tersedianya komponen cadangan dari masyarakat sipil.

Ketiga berupa terdapatnya alternatif pendanaan untuk pemeliharaan dan operasional lapangan tembak. Dan keempat adanya ruang untuk memberikan insentif finansial bagi para instruktur menembak dari kalangan TNI/Polri.

Apabila dirunut lebih jauh, masih banyak hal di sektor publik yang bisa diPNBPkan. Hanya saja diperlukan kejelian untuk memetakan apa saja hal yang bisa menjadi sumber pendapatan namun dengan spektrum dampak paling minimalis bagi masyarakat.

Kurniawan Budi Irianto – Pejabat Pengawas pada Kementerian Keuangan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!