Ekbis

Kenaikan Angka Kemiskinan, Kelas Menengah Terdesak

×

Kenaikan Angka Kemiskinan, Kelas Menengah Terdesak

Sebarkan artikel ini
Kenaikan Angka Kemiskinan, Kelas Menengah Terdesak
Doc. Foto: Titipku

Koropak.com – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia terus menurun sejak pandemi Covid-19.

Pada 2019, jumlah kelas menengah tercatat 57,33 juta orang (21,45% populasi), tetapi pada 2024 angka tersebut turun menjadi 47,85 juta (17,13%), atau berkurang 9,48 juta orang.

Padahal, kelas menengah berperan penting dalam perekonomian, termasuk memperluas basis penerimaan pajak. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 6-7%, memperkuat kelas menengah menjadi salah satu syarat utama.

Selama ini, pemerintah lebih berfokus pada penguatan kelas bawah dengan memberikan bantuan langsung, tanpa memberikan upaya yang lebih berkelanjutan untuk meningkatkan kemandirian mereka.

Di sisi lain, kebijakan seperti kenaikan harga BBM, peningkatan pajak, dan ketidakpastian global telah memicu naiknya harga pangan, yang semakin mengurangi daya beli kelas menengah, yang jarang menerima bantuan, tetapi sering terdampak.

Sementara, kondisi mereka belum pulih benar akibat pandemi Covid-19. Akibatnya, jumlah kelas menengah terus turun. Tak sedikit kelas menengah yang turun kelas menjadi warga miskin.

Apalagi, dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) akhir-akhir ini karena berbagai faktor. Tak hanya memakan tabungan, kelas menengah jadi terjun bebas menjadi warga miskin.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) pun mengungkapkan, pendapatan riil masyarakat cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, biaya hidup makin naik.

Proporsi pendapatan riil terhadap PDB per kapita adalah 78,5% pada 2010. Bahkan, sempat mencapai nilai tertinggi, yaitu 78,9% pada 2011. Namun, pendapatan riil selama empat tahun terakhir menunjukkan tren penurunan.

Sejumlah ekonom sudah mewanti-wanti, Indonesia sedang tidak baik-baik saja dengan sejumlah kondisi yang ada. Selain penurunan kelas menengah, selama empat bulan berturut-turut, BPS juga merilis terjadinya deflasi.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, ada fenomena pelemahan daya beli masyarakat, jika melihat adanya deflasi empat kali berturut-turut sepanjang 2024.

BACA JUGA:  PUPR dan USAID Gelar Forum Investasi untuk Air Minum dan Sanitasi

Deflasi sepanjang tahun 2024 berkaitan dengan sisi permintaan yang melemah, sedangkan dari sisi suplai pun juga terlihat terbatas. Hal ini tercermin dari penggunaan kapasitas di industri saat ini yang hanya mencapai 73,7%.

Pelemahan daya beli memiliki efek domino yang berdampak pada kondisi Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur dan kapasitas produksi.

Bahkan, kondisinya mirip dengan krisis ekonomi global pada 2008-2009 serta dampak pandemi Covid-19 pada 2020-2021, yakni deflasi juga terjadi akibat faktor eksternal.

Hanya saja, deflasi kali ini juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang tidak mendukung peningkatan daya beli masyarakat. Di sisi lain, pemerintah membantah deflasi yang terjadi karena penurunan daya beli masyarakat.

Pemerintah masih percaya, fenomena deflasi empat bulan ini lebih ditunjukkan dari sisi supply. Artinya masih terjadi di sisi penawaran. Kemudian, pemerintah juga menyebutkan, tren deflasi yang terjadi juga didukung oleh penurunan harga pangan seperti produk hortikultura dan peternakan.

Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya biaya produksi, yang berdampak pada turunnya harga konsumen. Faktor lain yang memicu deflasi adalah musim panen raya.

Selain itu, mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, menyoroti air galon sebagai salah satu alasan menurunnya kelas menengah. Menurutnya, tanpa disadari, konsumsi air kemasan telah mengurangi pendapatan kelompok ini.

Ia menyebut gaya hidup yang bergantung pada air galon sebagai penyebab utama, karena masyarakat terpaksa membeli air galon akibat kurangnya akses air bersih di beberapa wilayah.

Sementara itu, di tengah situasi ekonomi yang kurang baik, banyak figur publik dan pejabat dengan mudahnya memamerkan gaya hidup mewah di hadapan masyarakat, termasuk di media sosial.

Hal ini kontras dengan kesederhanaan Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik Sedunia, yang saat berkunjung ke Indonesia memilih naik pesawat komersial, tidak menggunakan mobil mewah, menginap di rumah Duta Besar Vatikan, dan bahkan memakai jam tangan yang harganya hanya sekitar Rp200.000.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!