Koropak.com – Jangan sepelekan kemarahan masyarakat. Jangan anggap remeh aksi protes di jalanan atau suara keras di media sosial.
Walaupun tidak semua orang turun ke jalan, kemarahan yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat tetap terasa. Banyak yang sudah muak dengan kemunafikan elit politik negara ini.
Rakyat menyaksikan dan merasakan secara langsung bahwa hukum dan politik di negara kita seolah diatur untuk mengutamakan kekuasaan kelompok tertentu. Mereka berdalih bahwa semua ini dilakukan demi kemajuan dan kebaikan bangsa.
Padahal sebenarnya rakyat bisa melihat dan merasakan, bahwa cita-cita negara dan bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, justru menjadi makin jauh dari fakta.
Negara yang dalam kultur Jawa dimaksudkan untuk mewujudkan keadaan “toto titi tentrem, gemah ripah loh jinawi” atau negara yang aman, adil dan makmur. Ternyata di tangan kekuasaan Presiden yg oleh Bahlil disebut “Raja Jawa”, keadaannya justru serba penuh kepalsuan.
Ini wujud tampilan raja palsu. Aslinya lebih cocok disebut “kéré munggah balé”. Perilakunya palsu. Bukan berdasar filsafat Jawa yang hendaknya “adil poromarto” (adil bagaikan mengalirnya air di muka bumi).
Malah perilakunya pongah, “adigang adigung adiguno”. Yaitu menunjukkan kekuasaannya lewat penggunaan kekuatan aparat negara. Menunjukkan kekuasaan dengan penggunaan kekuatan anggaran negara.
Membiayai dan menggunakan influencer dan buzzer. Semua dimanfaatkan untuk kepentingan, kemuliaan, yang terkait kekuasaan pribadi dan keluarganya.
Ucapan di bibir berbeda dengan perbuatan yang nyata. Tampilan dimuka, berbeda dengan kenyataan di belakangnya. Bicara pembangunan negara, tapi ternyata ada kepentingan untuk oligarki, kroni, dan keluarganya.
Padahal mereka bisa berkuasa karena adanya sistem demokrasi dan opportunity yang adil, tapi keadaan itu justru dirusak, dan diacak-acak. Konstitusi dan regulasi diabaikan, bahkan diubah, direkayasa dengan politik tanpa etika.
Semua itu ditujukan tak lain untuk agenda politik memuluskan dinasti kekuasaan anak-anaknya, yang sesungguhnya tidak sesuai aturan yang ada.
Rakyatpun marah. Mahasiswa marah. Kampus-kampus marah. Orang-orang waras dan prihatin pada kerusakan negara ini marah. Mereka yang marah berasal dari rakyat biasa, seniman, sastrawan, hingga orang-orang pergerakan.
Hati-hati jangan abaikan kekecewaan dan kemarahan rakyat. Kemarahan-kemarahan yang tidak akan hilang. Bisa saja tensinya surut karena orang harus juga bekerja mencari nafkah dan beraktivitas.
Namun apabila ini diremehkan dan diabaikan penguasa. Tak mustahil bisa menjadi ledakan kemarahan rakyat yang tak terbayangkan.
Henri Subiakto – Guru Besar Unair