Daerah

Merawat Warisan Budaya Panjalu dengan Upacara Sakral Nyangku

×

Merawat Warisan Budaya Panjalu dengan Upacara Sakral Nyangku

Sebarkan artikel ini
Merawat Warisan Budaya Panjalu dengan Upacara Sakral Nyangku

KOROPAK.COM – CIAMIS – Setiap tahun, masyarakat Ciamis dan Panjalu menggelar Upacara Adat Nyangku, sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak zaman dahulu. Upacara ini memegang peran penting dalam pelestarian warisan budaya lokal dan merupakan pilar utama dalam menjaga identitas serta nilai-nilai leluhur.

Dalam rangkaian acara tersebut, benda-benda pusaka, seperti keris dan artefak berharga, dibersihkan menggunakan air yang diambil dari tujuh mata air suci.

Pembersihan ini bukan sekadar ritual fisik, melainkan simbol penghormatan kepada leluhur dan upaya untuk mempertahankan kekayaan tradisi yang berakar kuat dalam masyarakat.

Istilah “Nyangku” berasal dari kata Arab “Nyangko,” yang berarti membersihkan, namun kini juga dihubungkan dengan frasa Sunda “Nyaangan Laku,” yang berarti menerangi perilaku. Transformasi makna ini menegaskan dimensi spiritual dan reflektif dari ritual tersebut.

Tradisi Nyangku bermula sejak berdirinya Kerajaan Panjalu, sebuah pusat kebudayaan dan penyebaran Islam di Jawa Barat.

Upacara ini juga dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Prabu Sanghyang Borosngora, raja Panjalu pertama yang memeluk Islam dan turut berperan dalam penyebaran agama di wilayah tersebut.

Pembersihan benda pusaka merupakan penghormatan bagi sosok yang memiliki makna historis dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat Panjalu.

Selain menghormati leluhur, upacara ini juga berfungsi sebagai sarana refleksi bagi masyarakat Panjalu untuk merenungkan perilaku mereka.

Dengan demikian, Nyangku tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga sosial, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bersatu dalam menghormati sejarah dan budaya mereka serta berkomitmen menjadi individu yang lebih baik.

Setiap tahun, pada minggu keempat bulan Maulid, Upacara Nyangku diselenggarakan dengan partisipasi penuh dari Yayasan Borosngora, tokoh masyarakat, dan Pemerintah Desa Panjalu.

Persiapan acara melibatkan seluruh warga desa, memperkuat semangat kebersamaan dan solidaritas. Salah satu prosesi penting dalam upacara ini adalah pengambilan air dari tujuh mata air keramat, yang dikenal sebagai tirta kahuripan.

Tujuh mata air ini meliputi Mata air Situ Lengkong, Karantenan, Kapunduhan, Cipanjalu, Kubang Kelong, Pasangrahan, dan Kulah Bongbang Rarang. Air yang dikumpulkan dari mata air tersebut disimpan dalam wadah khusus dan didoakan selama 40 hari sebelum acara puncak.

Malam sebelum upacara, diselenggarakan prosesi Penyerahan Tirta Kahuripan, yang diiringi pengajian dan sholawat di “Bumi Alit.” Suasana semakin meriah dengan tradisi kesenian Gambyong dan Debus.

BACA JUGA:  Sekda Garut Umumkan Pembukaan Formasi CPNS

Puncak acara ditandai dengan pengambilan benda-benda pusaka dari Pasucian “Bumi Alit” dan kirab menuju Pulau Nusa Gede di tengah Danau Panjalu, diiringi sholawat serta kesenian Gembyung.

Setelah proses dari Pulau Nusa Gede yang terletak di tengah Danau Panjalu, yang dikenal sebagai Situ Lengkong, diiringi oleh lantunan sholawat dan pertunjukan seni gembyung, pusaka tersebut dibawa masuk ke Makam Eyang Boros Ngora. Di depan makam Eyang Boros Ngora, dilakukan acara Tawasulan bersama.

Usai Tawasulan, pusaka diarak kembali menuju alun-alun Panjalu, di mana mereka disambut oleh Forkopimda Kabupaten Ciamis dan para Pini Sepuh dari undangan yang sebelumnya diberikan oleh pimpinan Yayasan Boros Ngora.

Di tengah alun-alun Panjalu, berlangsung prosesi ritual pemandian atau pembersihan sejumlah pusaka, dengan fokus utama pada pembersihan pedang Sayyidina Ali dan pusaka lainnya. Acara ini disaksikan oleh Forkopimda, Pini Sepuh, serta masyarakat yang hadir.

Tak ketinggalan, sambutan-sambutan disampaikan oleh Bupati atau Penjabat Bupati Kabupaten Ciamis, dan lain-lain. Setelah prosesi pemandian pusaka selesai di alun-alun, pusaka dibawa kembali ke Bumi Alit. Keesokan harinya, setelah prosesi Nyangku utama, seluruh pusaka yang ada di Bumi Alit akan dibersihkan dan dimandikan dalam acara yang disebut jamasan pusaka.

Kirab ini dipimpin oleh keturunan Raja Panjalu dan diikuti oleh warga desa, semakin memperkuat dimensi spiritual dan sosial upacara ini.

Seorang pemerhati sejarah dan budaya Panjalu menekankan bahwa substansi di balik ritual Nyangku tidak boleh hanya dilihat sebagai simbol seremonial, tetapi juga sebagai pengingat akan pentingnya persatuan dan kolaborasi di antara masyarakat.

Pengumpulan air dari tujuh sumber keramat merupakan refleksi dari kekuatan dan ikatan sosial yang harus selalu dijaga. Ia berharap Upacara Nyangku mampu terus mendorong masyarakat untuk saling mendukung dan tumbuh bersama.

Dengan pelaksanaan Upacara Adat Nyangku, masyarakat Panjalu tidak hanya menjaga dan menghormati warisan leluhur, tetapi juga memperkuat komitmen mereka terhadap nilai-nilai kebersamaan dan kebaikan, memastikan warisan ini tetap hidup dan relevan bagi generasi-generasi mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!