KOROPAK.COM – JAKARTA – Perkara hukum yang menimpa Toko Mama Khas Banjar di Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Kalsel) kini menyita perhatian publik hingga ke tingkat nasional.
Setelah Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman, hadir sebagai amicus curiae di Pengadilan Negeri Banjarbaru pada Rabu (14/5/2025), Komisi III DPR RI turut menindaklanjuti kasus ini dengan menggelar rapat kerja pada Kamis (15/5/2025).
Rapat itu menghadirkan berbagai pihak, termasuk Menteri UMKM, Kapolda Kalsel Irjen Rusyanto Yudha, Kajati Kalsel Rina Virawati, serta tim kuasa hukum terdakwa, Firly Nurochim.
Kuasa hukum Firly, Faisol Abrori, memaparkan kronologi penangkapan dan penahanan kliennya oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Kalsel, yang bermuara pada proses persidangan saat ini. “Kami sempat mengajukan praperadilan, namun ditolak hakim,” katanya.
Faisol juga menuturkan upayanya mendatangi Komisi VII DPR dan Kementerian UMKM, yang akhirnya membuat Menteri UMKM turun langsung menjadi sahabat pengadilan dalam perkara ini.
Dalam rapat tersebut, Maman menegaskan bahwa pendekatan hukum terhadap pelaku UMKM semestinya mendahulukan prinsip ultimum remedium, hukum pidana sebagai upaya terakhir.
Ia menekankan bahwa tanggung jawab perlindungan UMKM ada di pundaknya dan meminta agar usaha Mama Khas Banjar yang kini tutup bisa kembali beroperasi. “Kami juga telah berkoordinasi dengan BRI untuk memberi kelonggaran cicilan selama enam bulan bagi pemilik toko,” ujar Maman.
Anggota Komisi III DPR, Rikwanto, menyampaikan simpatinya kepada pemilik usaha. Ia bahkan terkejut perkara ini sampai masuk ke persidangan, dan menilai seharusnya pendekatan pembinaan lebih dikedepankan. “Kalau ini dipaksakan terus, bisa-bisa pasar rakyat habis karena banyak produk tak berlabel. Perlu pendekatan bijak, bukan pidana,” ujarnya.
Senada, anggota Komisi III lainnya, Endang Agustina, menyatakan bahwa Polda dan Kejaksaan tidak berniat mengkriminalisasi kasus ini, sementara Mama Khas Banjar pun tidak bermaksud membahayakan konsumen.
“Kami menyarankan pendekatan restorative justice, namun karena sudah memasuki persidangan, kami berharap putusannya bisa ringan,” tutur Agustina.
Sementara anggota dari PDI Perjuangan, I Wayan Sudirta, menyoroti prosedur pemanggilan saksi oleh Polda Kalsel yang dinilai tidak sesuai karena tanpa surat panggilan resmi.
Kasus ini juga memicu diskusi publik di kalangan mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Diskusi digelar di sebuah kafe di Kampung Arab pada Rabu malam (14/5), dengan tema peran penegak hukum dalam memberikan edukasi kepada pelaku usaha kecil.
Dalam forum tersebut, mahasiswa menyepakati bahwa perkara ini seharusnya menjadi momentum memperkuat sinergi antara UMKM dan pemerintah demi menciptakan sistem pembinaan yang adil.
Dalam rapat dengan DPR, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalsel, Kombes Gafur Aditya Siregar, mengungkap bahwa pihaknya menerima tiga laporan terpisah terhadap usaha Firly. Laporan itu datang dari tiga individu berbeda: Oji (15 Oktober 2024), Marshel (23 Oktober 2024), dan Cucung (29 Oktober 2024).
Meski bisa memproses tiga berkas perkara terpisah, Gafur menyatakan bahwa penyidik memutuskan untuk menggabungkannya menjadi satu kasus. Usai menerima laporan, penyidik memanggil Firly dan menetapkannya sebagai tersangka. Penahanan dilakukan setelah proses pemeriksaan.
Menurut AKBP Amien Rovi dari Subdit Indagsi, pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan label kedaluwarsa dan masuk dalam ranah pelanggaran UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999.
Namun kuasa hukum Firly, Faisol, mengungkap adanya kejanggalan dalam proses penyitaan. Penyegelan dilakukan pada 9 Desember, sementara penyitaan dilakukan dua hari kemudian. Anehnya, berita acara penyitaan tanggal 15 Desember diduga direvisi dari tanggal sebelumnya.
Menindaklanjuti hal itu, tim hukum Mama Khas Banjar juga menyampaikan pengaduan ke Divisi Propam Polda Kalsel dan beberapa instansi lain. Mereka menyebut pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen seharusnya tidak langsung dikenai sanksi pidana, melainkan melalui proses edukatif terlebih dahulu.