KOROPAK.COM – BANDUNG – Usulan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk menjadikan vasektomi sebagai syarat mendapatkan bantuan sosial (bansos) memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan, mulai dari aktivis hak asasi manusia hingga tokoh agama.
Ide ini pertama kali dikemukakan dalam rapat koordinasi di Balai Kota Depok pada 29 April 2025. Dalam pandangannya, Dedi menilai bahwa tingginya angka kelahiran di kalangan keluarga miskin turut memperparah persoalan kemiskinan struktural. “Biasanya yang anaknya banyak, justru hidupnya pas-pasan,” ungkapnya saat itu.
Dedi menyarankan agar kaum pria turut bertanggung jawab dalam pengendalian kelahiran dengan mengikuti program vasektomi. Ia juga menawarkan insentif uang tunai sebesar Rp500 ribu bagi mereka yang bersedia menjalani prosedur tersebut.
Namun, wacana ini langsung menuai gelombang kritik. Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, mengecam gagasan tersebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap kelompok ekonomi lemah. Menurutnya, mempersyaratkan tindakan medis seperti vasektomi demi mendapatkan bansos merupakan langkah yang tidak etis.
“Kontrasepsi seharusnya menjadi pilihan bebas, bukan paksaan. Terlebih jika dikaitkan dengan kebutuhan dasar seperti bansos. Itu bisa sangat merugikan kelompok rentan,” ujar Elisa, dikutip dari laporan Tempo, 1 Mei 2025.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, turut menanggapi dengan keprihatinan. Ia menilai bahwa keputusan medis semacam vasektomi menyangkut hak atas tubuh yang bersifat pribadi, dan tidak bisa dijadikan alat tukar untuk memperoleh bantuan negara.
“Ini menyentuh ranah hak asasi manusia. Pemerintah tidak berwenang mencampuri urusan tubuh warga negara dalam bentuk persyaratan administratif,” tegas Atnike pada 2 Mei 2025.
Sikap hati-hati juga ditunjukkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat. Ketua MUI Jabar, KH Rahmat Syafei, menyatakan bahwa prosedur vasektomi secara prinsip haram jika menyebabkan kemandulan permanen. Namun, ia menyebut ada pengecualian dalam kondisi medis tertentu yang tidak merugikan secara permanen.
Dari sisi pemerintah pusat, Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, mengatakan bahwa ide tersebut masih dalam tahap kajian. Menurutnya, meskipun program keluarga berencana (KB) patut didukung, penerapannya harus mempertimbangkan aspek sosial dan hukum secara mendalam.
“Kalau dijadikan syarat bansos, tentu harus ada kajian lebih lanjut. Pendekatannya tidak bisa semata-mata teknis,” ucapnya.
Dedi Mulyadi sendiri menyatakan bahwa program serupa pernah dijalankan di Purwakarta saat ia menjabat sebagai bupati, meski saat itu berbasis insentif, bukan kewajiban. Kini, ia menyebut kegiatan vasektomi akan diadakan secara rutin setiap Rabu, dengan peserta diberi kompensasi langsung.
Wacana ini menambah babak baru dalam dinamika kebijakan publik di Indonesia. Di satu sisi, ada upaya pemerintah daerah untuk mengintegrasikan pengendalian populasi dengan distribusi kesejahteraan. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar mengenai batasan antara inovasi kebijakan dan pelanggaran hak-hak fundamental warga negara.