KOROPAK.COM – TASIKMALAYA – Di awal tahun 2025, Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan, sempat mendapat apresiasi atas janji pengalihan dana pembelian mobil dinas untuk kebutuhan pengelolaan kebersihan kota.
Dalam sebuah pidato di Bale Wiwitan, Viman menegaskan bahwa anggaran sebesar Rp3,8 miliar akan dialihkan guna pembelian kontainer sampah dan dump truk, sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Pemerintah. Namun, pada Mei 2025, kebijakan tersebut justru menuai pertanyaan.
Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Tasikmalaya tetap melanjutkan pembelian tiga unit mobil dinas dengan total anggaran yang hampir sama dengan dana yang sebelumnya dialihkan untuk kebutuhan publik. Kendaraan yang dibeli, Toyota Zenix keluaran 2025, diperkirakan harganya antara Rp473 juta hingga Rp625 juta per unit.
Keputusan ini memicu tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Tasikmalaya. Dalam sebuah pesan kepada wartawan, Sekretaris Kaderisasi PC PMII, Dendy Bima Ardana, mengkritik langkah Pemkot sebagai tanda inkonsistensi dan potensi penyimpangan dari janji awal.
“Wali Kota pernah menyatakan bahwa anggaran pengadaan mobil dinas senilai Rp3,8 miliar akan dialihkan untuk membeli kontainer sampah dan dump truk sesuai Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025. Namun kenyataannya, pengadaan mobil tetap berjalan,” ujar Dendy pada Senin (19/5/2025).
Dendy juga menyinggung dugaan bahwa kendaraan tersebut diperuntukkan bagi istri Wali Kota, Wakil Wali Kota, dan Sekretaris Daerah, yang menurutnya merusak semangat reformasi anggaran dan kepercayaan publik.
PMII berjanji akan terus mengawasi proses pengadaan di Dinas Lingkungan Hidup (DLH), termasuk rencana pembelian kontainer sampah yang dianggarkan Rp60 juta per unit.
Dendy mengingatkan agar proses tersebut bebas dari markup dan penyalahgunaan anggaran. “Dalam hal kepentingan rakyat, keputusan anggaran harus jelas dan tegas, tidak boleh abu-abu,” tegasnya.
Kontroversi ini menjadi babak baru dalam dinamika pengelolaan keuangan publik di tingkat daerah, menggambarkan ketegangan antara janji efisiensi dan praktik birokrasi yang terjadi di lapangan. Sejarah kelak akan menguji apakah komitmen tersebut benar-benar dijalankan atau hanya sebatas retorika.