KOROPAK.COM – BANDUNG – Pada tahun 2025, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memulai pemantauan terhadap program pendidikan karakter kontroversial di Jawa Barat yang dikenal dengan nama Pancawaluya.
Program ini, yang diinisiasi oleh Gubernur Dedi Mulyadi, bertujuan untuk membentuk karakter siswa dengan pendekatan semi-militer melalui pengiriman mereka ke barak militer.
KPAI melakukan pengawasan di dua lokasi utama program ini, yaitu Rindam III Siliwangi di Bandung Barat dan Barak Militer Resimen 1 Sthira Yudha di Purwakarta.
Program ini ditujukan untuk anak-anak yang dianggap bermasalah secara perilaku, dengan penekanan pada kedisiplinan dan integritas, meskipun pelaksanaannya menimbulkan sejumlah kekhawatiran.
Salah satu temuan utama dari pengawasan KPAI adalah adanya sejumlah peserta yang merasa tidak nyaman dan memilih untuk meninggalkan program.
Beberapa anak mengaku bergabung atas rekomendasi guru BK, namun setelah mengikuti pelatihan, mereka merasa lebih nyaman berada di sekolah dan memilih untuk keluar dengan alasan ingin membeli makanan ringan.
Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, menyebutkan bahwa temuan ini mencolok. Meskipun tidak ada kekerasan fisik yang ditemukan, KPAI mencatat adanya tanda-tanda kelelahan pada para peserta.
Beberapa siswa tampak mengantuk, tidak fokus, dan berbicara dengan teman-teman mereka saat mengikuti materi, yang menunjukkan adanya masalah terkait kesejahteraan fisik dan mental peserta selama pelatihan.
Untuk lebih memahami kondisi ini, KPAI melakukan wawancara tertutup dengan siswa dan membagikan kuesioner. Dari pengawasan tersebut, KPAI menegaskan bahwa meskipun mereka menghargai niat Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam mengembangkan pendidikan karakter, pendekatan yang digunakan harus berlandaskan pada prinsip perlindungan anak.
“Pendidikan yang berbasis disiplin dapat membentuk sikap, namun tanpa adanya dukungan seperti pengasuhan keluarga, layanan konseling, dan lingkungan sosial yang sehat, perubahan perilaku anak tidak akan bertahan lama,” jelas Aris.
Mengacu pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, KPAI merekomendasikan agar program Pancawaluya dievaluasi secara menyeluruh. Evaluasi ini harus mencakup regulasi, standarisasi pelaksanaan, serta pelibatan psikolog profesional dalam proses seleksi peserta.
“Kami juga menyarankan agar penentuan anak yang membutuhkan perlindungan khusus tidak hanya didasarkan pada rekomendasi guru BK, tetapi melalui asesmen psikologis profesional untuk mengurangi risiko kesalahan penilaian,” tambahnya.
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas perlindungan hak anak, KPAI menegaskan bahwa mereka akan terus melakukan pemantauan dan advokasi terhadap program-program pendidikan anak untuk memastikan prinsip perlindungan anak tetap diutamakan dalam setiap kebijakan yang diterapkan, demi mendukung terwujudnya generasi emas pada tahun 2045.