KOROPAK.COM – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi sorotan tajam setelah memerintahkan serangan terhadap fasilitas nuklir milik Iran pada Minggu (22/6/2025). Langkah tersebut memicu gelombang kritik dan desakan pemakzulan dari sejumlah legislator Partai Demokrat.
Anggota Kongres Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) menyampaikan kecamannya melalui platform media sosial X, menyebut tindakan Trump sebagai pelanggaran serius terhadap Konstitusi AS.
“Perintah presiden yang gegabah untuk menyerang Iran tanpa otorisasi Kongres adalah bentuk pelanggaran berat terhadap kewenangan legislatif dalam urusan perang,” tulis AOC, dikutip dari Axios.
Ia menilai keputusan tersebut berpotensi menyeret Amerika ke dalam konflik jangka panjang.
Sikap senada disampaikan oleh Sean Casten, anggota DPR dari Illinois. Ia menyebut serangan tersebut sebagai pelanggaran hukum karena dilakukan tanpa persetujuan parlemen.
“Ini bukan soal seberapa besar ancaman nuklir dari Iran, tapi tentang prinsip dasar hukum. Presiden tidak berwenang melancarkan serangan militer terhadap negara yang tidak secara langsung mengancam AS tanpa restu Kongres,” ujar Casten melalui unggahan di media sosial, dikutip Fox News.
Ketua Fraksi Minoritas DPR, Hakeem Jeffries, juga turut angkat bicara. Ia menyebut tindakan Trump sebagai langkah unilateral yang bisa membawa AS ke dalam perang besar di kawasan Timur Tengah. “Trump bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap akibat dari tindakan militer sepihak yang diambilnya,” tegas Jeffries.
Sementara kritik dari Demokrat terus menguat, Wakil Presiden JD Vance tampil membela Presiden Trump. Dalam wawancara di program Meet the Press NBC, Vance menegaskan bahwa presiden memiliki hak untuk mengambil langkah cepat demi mencegah proliferasi senjata pemusnah massal.
“Presiden bertindak demi mencegah ancaman yang lebih besar. Tindakan ini berada dalam kewenangannya sebagai kepala negara,” ujar Vance.
Meski serangan ini menimbulkan polemik, sejarah mencatat bahwa sejumlah presiden AS sebelumnya termasuk Bill Clinton, Barack Obama, dan Trump pada periode pertamanya juga pernah melakukan aksi militer serupa tanpa izin legislatif, termasuk di wilayah seperti Libya, Sudan, dan Afghanistan.