KOROPAK.COM – TASIKMALAYA – Tanggal 2 Mei menjadi catatan penting dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Tasikmalaya. Pada Jumat pagi, dua organisasi mahasiswa, PMII dan HMI, turun ke Balai Kota, membawa semangat korektif atas 100 hari pertama pemerintahan Wali Kota Viman Alfarizi Ramadhan.
Aksi ini bukan sekadar demonstrasi simbolik, melainkan bentuk perlawanan intelektual terhadap kebijakan yang mereka nilai menyimpang. Di tempat yang biasanya menjadi pusat aktivitas pemerintahan, kini bergema suara-suara kritis dari generasi muda.
Audiensi terbuka pun terjadi. Wali Kota, Wakil Wali Kota, serta Sekretaris Daerah hadir langsung menemui para demonstran. Momen itu menjadi ruang publik bagi kritik tajam yang dipimpin oleh Adriana, Ketua PMII Kota Tasikmalaya.
Adriana mengangkat isu utama, dugaan konflik kepentingan antara jabatan publik Viman dan afiliasinya dengan perusahaan transportasi milik keluarganya, Primajasa. Ia menuding pool bus tersebut beroperasi di luar ketentuan dengan menaikkan dan menurunkan penumpang di lokasi yang tak semestinya.
“Kami minta operasional Primajasa dihentikan. Ini bentuk pelanggaran aturan,” tegas Adriana, melontarkan kritik yang mengguncang kredibilitas Wali Kota.
Sebuah pertanyaan retoris pun mencuat: “Di urutan ke berapa persoalan ini bagi Pak Wali?” Sebuah sindiran tajam terhadap prioritas kepemimpinan yang dinilai tak berpihak pada kepentingan publik.
Dukungan kritik datang dari Ahmad Rizal Hidayat, Wasekbid PTKP HMI Tasikmalaya. Ia menegaskan bahwa berbagai aspirasi yang telah disampaikan sebelumnya tak pernah menghasilkan keputusan berarti. Evaluasi birokrasi yang dijanjikan, menurutnya, hanya sebatas pengisian jabatan kosong tanpa pembenahan nyata.
Isu pengentasan kemiskinan yang seharusnya menjadi fokus RPJMD, hingga kini tak menunjukkan kemajuan berarti. “Memasuki 100 hari masa kerja, hasilnya nyaris nihil. Tidak ada kejelasan arah, tidak ada solusi konkret,” keluh Ahmad.
Fakta bahwa Viman berasal dari keluarga besar Mayasari Group dan memegang jabatan sebagai Direktur Primajasa Foundation menambah rumitnya dinamika. Ketika posisi politik bersinggungan langsung dengan kepentingan ekonomi pribadi, wacana tentang netralitas dan integritas kepemimpinan pun semakin menguat.
Aksi ini jauh melampaui sekadar sorotan terhadap sebuah perusahaan transportasi atau kritik terhadap struktur birokrasi. Ini adalah bentuk tuntutan terhadap pemimpin agar benar-benar menjalankan mandatnya: mengutamakan rakyat, bukan relasi pribadi.