KOROPAK.COM – JAKARTA – Mengurangi emisi karbon dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber energi yang tersedia, salah satunya adalah bioetanol. Namun, sejauh mana kompatibilitas mesin kendaraan dengan bioetanol?
Dalam sektor transportasi, penggunaan biofuel seperti bioetanol menjadi alternatif yang menjanjikan. Transisi ke bahan bakar ini cukup praktis karena tidak memerlukan modifikasi pada mesin kendaraan bermotor.
Menurut Ronny Purwadi, pakar konversi biomassa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mobil dapat menggunakan bioetanol E10 tanpa perlu penyesuaian spesifikasi mesin.
“Bioetanol merupakan bahan bakar oksigenat, artinya mengandung oksigen yang dapat membantu proses pembakaran lebih optimal. Dengan demikian, pembakaran menjadi lebih efisien tanpa memerlukan tambahan oksigen dalam jumlah besar,” ujar Ronny dalam talkshow “Carbon Neutrality (CN) Mobility Event” di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta.
Ia juga menambahkan bahwa bioetanol memiliki angka oktan yang cukup tinggi, berkisar antara 104 hingga 108, sehingga dapat meningkatkan performa mesin ketika digunakan dalam jumlah yang lebih besar.
Bioetanol dianggap sebagai opsi ideal dalam menekan emisi karbon bagi kendaraan dengan mesin pembakaran internal. Dengan nilai oktan yang lebih tinggi, bahan bakar ini menghasilkan gas buang yang lebih bersih dibandingkan bensin konvensional.
“Meski nilai kalor bioetanol lebih kecil, sekitar dua per tiga dari bensin, bahan bakar ini tetap bisa dicampurkan hingga 10 persen ke dalam bensin (E10) tanpa perlu modifikasi mesin,” jelasnya.
Namun, jika ingin menggunakan bioetanol dalam kadar lebih tinggi, Ronny menyebut bahwa diperlukan kendaraan khusus seperti mobil Flexy Fuel, yang telah banyak digunakan di Brasil dengan bahan bakar etanol hydrous—etanol yang masih mengandung air.
Sementara itu, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo, mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini memiliki 13 produsen bioetanol dengan kapasitas produksi lebih dari 361 ribu kiloliter per tahun, termasuk 63 ribu kiloliter Fuel Grade Ethanol (FGE).
“Dari 2025 hingga 2030, kita akan meningkatkan pencampuran bioetanol. Saat ini E5 sudah diterapkan, dan pada 2026 akan ada tambahan dua pabrik baru. Targetnya, pada 2026 pencampuran bioetanol mencapai 5 persen, lalu meningkat menjadi 10 persen pada 2029,” ungkap Edi.
Ia menambahkan bahwa pada 2030, Indonesia menargetkan pencampuran bioetanol dalam bensin mencapai 1,2 juta kiloliter. Namun, tantangan utama dalam pengembangan bioetanol adalah ketersediaan bahan baku (feedstock).
Bioetanol dihasilkan dari sumber karbohidrat seperti sagu, jagung, gandum, tebu, kentang, serta berbagai jenis umbi-umbian, termasuk ubi jalar dan singkong. Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan bioetanol generasi kedua yang berasal dari limbah biomassa, seperti tandan kosong kelapa sawit.
“Kita masih membutuhkan lebih banyak bahan baku untuk mendukung produksi bioetanol,” kata Oki Muraza, Senior Vice President (SVP) Technology Innovation Pertamina.
Ketua Asosiasi Produsen Spiritus dan Etanol Indonesia (APSENDO), Izmirta Rachman, menyatakan bahwa penggunaan bioetanol di Indonesia pada 2024 masih terbatas, baru mencapai 373 kiloliter.
“Angka ini berasal dari produksi PT Enero yang mengolah molasses (tetes tebu) dari pabrik gula menjadi bioetanol, kemudian dicampurkan ke bensin oleh Pertamina,” katanya.
Namun, ia menyoroti kendala utama dalam pasokan bahan baku. Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dengan produksi molasses mencapai 1,6 juta ton per tahun. Jika seluruhnya diolah menjadi bioetanol, maka bisa menghasilkan sekitar 409 ribu kiloliter. Sayangnya, realisasi penggunaannya masih jauh di bawah potensi tersebut.
“Saat ini, sebagian besar molasses justru diekspor. Pada 2023, sekitar 819 juta ton atau 50 persen dari total produksi dikirim ke luar negeri karena belum ada regulasi yang mengatur pemanfaatannya untuk hilirisasi di dalam negeri,” jelas Rachman.
Pertamina sendiri terus melakukan penelitian untuk mengembangkan bahan baku bioetanol generasi kedua. “Tandan kosong kelapa sawit merupakan salah satu sumber yang berlimpah di Indonesia, dengan potensi mencapai 50 juta ton dalam kondisi basah atau sekitar 23 juta ton dalam kondisi kering,” kata Oki.
Selain itu, penelitian juga dilakukan terhadap tanaman sorgum bekerja sama dengan Universitas Mataram, yang menunjukkan hasil menjanjikan. Dari satu hektar lahan, bisa diperoleh sekitar 4.000 liter bioetanol.
“Skalanya akan terus diperbesar untuk memastikan keberlanjutannya. Selain itu, kami juga meneliti potensi bioetanol dari nipa fruticans yang tumbuh di rawa-rawa, meski masih ada tantangan dalam proses mekanisasinya,” tutupnya.