KOROPAK.COM – Jimly Asshiddiqie, seorang akademisi hukum tata negara terkemuka di Indonesia, dikenal karena kontribusinya dalam reformasi hukum dan politik pasca-Orde Baru.
Lahir pada 17 April 1956, Jimly pernah menjabat sebagai Asisten Wakil Presiden B.J. Habibie pada 1998–1999 dan turut aktif sebagai tim ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam proses amandemen UUD 1945.
Ia juga pernah menjadi anggota MPR-RI (1998–1999) dan kembali menjadi anggota MPR-RI serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2019–2024 mewakili DKI Jakarta.
Peran Jimly dalam dunia hukum semakin menonjol saat ia dipercaya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama di Indonesia pada 2003–2008. Di bawah kepemimpinannya, MK menjadi simbol modernisasi peradilan di Indonesia.
Jimly juga mempelopori pembentukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), sebuah lembaga pengadilan etika pertama di dunia yang dibentuk pada 2012 dan ia pimpin hingga 2017.
Dalam bidang pendidikan, Jimly meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia (UI) pada 1982, kemudian melanjutkan studi Magister (S2) di UI pada 1987. Gelar doktor diraihnya dari UI dan Universiteit Leiden, Belanda, pada 1990.
Pada 1998, Jimly diangkat sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum UI. Ia juga dikenal sebagai penulis produktif dengan lebih dari 65 judul buku dan ratusan makalah di berbagai forum dan media. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain “Green Constitution”, “Konstitusi Ekonomi”, dan “Peradilan Etik dan Etika Konstitusi”.
Karier Jimly di pemerintahan meliputi berbagai jabatan strategis, seperti Staf Ahli Menteri Pendidikan (1993–1998), Penasihat Ahli Menteri Perindustrian dan Perdagangan (2001–2003), dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang hukum dan ketatanegaraan (2009–2010).
Ia juga pernah menjadi Ketua Dewan Kehormatan KPU (2009–2010) dan Ketua Dewan Penasihat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hingga 2024. Jimly memegang peran penting dalam perancangan undang-undang bidang politik dan hukum, termasuk dalam penyusunan UU Mahkamah Konstitusi.
Setelah UU disahkan pada 13 Agustus 2003, Jimly dipilih oleh DPR sebagai hakim konstitusi pertama dan kemudian terpilih sebagai Ketua MK pada 19 Agustus 2003.
Ia memimpin MK selama dua periode (2003–2006 dan 2006–2008). Setelah masa tugasnya berakhir, ia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri kembali meskipun sempat didesak oleh berbagai pihak.
Sebagai penghargaan atas kontribusinya, Jimly menerima berbagai tanda kehormatan dari negara, termasuk Bintang Mahaputera Utama (1999), Bintang Mahaputera Adipradana (2009), dan Bintang Penegak Demokrasi Utama (2020).
Saat ini, Jimly tetap aktif di dunia akademik dan hukum melalui Jimly School of Law and Government (JSLG), sebuah lembaga yang ia dirikan untuk membina kepemimpinan di bidang hukum dan politik.
Dengan pengalaman luas dan kontribusi yang signifikan di berbagai sektor, Jimly Asshiddiqie telah mencatatkan dirinya sebagai sosok penting dalam sejarah perkembangan hukum dan politik di Indonesia.