Koropak.com – Tasikmalaya – Dunia pendidikan di Tasikmalaya kembali terusik oleh dugaan pelanggaran etika. Seorang pejabat sekolah negeri diduga meminta uang kepada calon siswa yang hendak pindah ke sekolahnya. Namun, pihak sekolah bersikeras menyebut, itu hanya salah paham.
Kasus ini menyeret nama Drs. Akuh, S.Pd., M.Pd.,, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMA Negeri 1 Tasikmalaya.
Menurut klarifikasi Kepala Cabang Dinas Pendidikan (KCD) Wilayah XII, Zhairy Andhryanto, dalam surat bernomor 4309/TU.01.02/CADISDIKWIL XII, KCD menjelaskan bahwa Akuh sempat mencontohkan ada orang tua siswa yang dulu pernah memberikan sumbangan.
Tapi persoalannya, “contoh” itu ternyata berbuntut panjang. Bagi orang tua calon siswa, ucapan sang Wakasek terdengar seperti isyarat: bahwa sumbangan menjadi jalan agar mutasi diterima.
Pihak KCD sendiri tak menampik adanya persoalan itu dan akan melakukan pembinaan langsung kepada Wakasek Kesiswaan.
“Kepada Wakasek Kesiswaan telah dilakukan pembinaan agar lebih berhati-hati dalam bertutur dan menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan multitafsir,” tulis KCD.
Namun, tak ada sanksi administratif. Hanya pembinaan. Di atas kertas, masalah dianggap selesai. Tapi di lapangan, publik bertanya-tanya, apakah sekadar pembinaan cukup untuk menjaga integritas dunia pendidikan?
Satu kalimat kecil bisa memicu tafsir besar. Satu “contoh” bisa berubah menjadi “isyarat”.
Dan satu percakapan ringan bisa mencoreng nama baik sekolah yang dibangun dari kepercayaan publik.
Langkah KCD untuk memperkuat pengawasan patut diapresiasi. Tapi publik tahu, pengawasan bukan sekadar menegur yang sudah salah, melainkan membangun budaya etika sebelum kesalahan terjadi.
Karena di sekolah negeri, keteladanan bukan hanya soal mengajar di kelas, tapi juga bagaimana pejabat pendidik menjaga makna dari setiap ucapannya.