KOROPAK.COM – TASIKMALAYA – Seleksi penerimaan murid baru (SPMB) di SMAN 2 Tasikmalaya menuai sorotan. Jalur afirmasi yang seharusnya untuk siswa tidak mampu diduga dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga berkecukupan. Salah satu kasus yang mencuat, beberapa siswa yang diterima lewat jalur afirmasi ternyata merupakan alumni sekolah swasta bergengsi.
Ketua Panitia SPMB SMAN 2 Kota Tasikmalaya, Irlan Mardiansah, memberikan penjelasan terkait isu masuknya siswa dari sekolah swasta mahal melalui jalur afirmasi. Ia menegaskan bahwa persoalan tersebut sebenarnya sudah menjadi perhatian panitia sejak awal tahapan seleksi.
“Dalam sistem kami, siswa yang mendaftar lewat jalur afirmasi secara otomatis akan terverifikasi apabila NIK mereka sudah terdaftar dalam basis data seperti DTKS, KIP, atau KKS,” kata Irlan saat diwawancarai di SMAN 2, Kamis (10/7/2025).
Meski begitu, menurutnya, pihak sekolah tidak serta-merta menerima semua pendaftar afirmasi tanpa evaluasi tambahan. Panitia tetap melakukan pengecekan lapangan secara selektif terhadap pendaftar yang dinilai mencurigakan.
“Jika muncul indikasi ketidaksesuaian, kami akan turun langsung ke RT untuk menggali informasi kondisi ekonomi keluarga. Dari hasil tersebut, memang ditemukan bahwa yang bersangkutan berasal dari keluarga kurang mampu, serta telah tercatat di DTKS sejak awal,” jelas Irlan.
Saat ditanya soal bagaimana siswa tersebut sebelumnya bersekolah di institusi swasta yang tergolong mahal, Irlan mengungkapkan bahwa keluarga menyatakan biaya sekolah dibantu oleh nenek serta mendapat tunjangan dari tempat kerja orang tuanya.
“Sejak proses awal, kami sudah memberikan pemahaman kepada wali murid bahwa apabila ada polemik di masyarakat, mereka harus siap memberi penjelasan soal kondisi ekonomi yang sedang sulit,” ujar Irlan yang juga mengonfirmasi bahwa orang tuanya bekerja sebagai konsultan.
Di sisi lain, Wakil Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, H. Hilman S.Pd, menyoroti permasalahan yang lebih luas terkait ketidaktepatan sasaran dalam pemberian bantuan sosial. Dalam pertemuan dengan LSM PADI, ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap banyaknya penerima bantuan yang justru berasal dari kalangan mampu.
“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mereka yang berkecukupan justru menerima bantuan, sementara warga yang benar-benar membutuhkan malah terlewat,” ucap Hilman.
Ia menilai fenomena ini juga diperparah oleh cara pandang sebagian penerima bantuan yang menganggap bantuan sosial sebagai ‘uang jatuh dari langit’ yang tidak perlu dipertanggungjawabkan. “Ini perlu diluruskan. Bantuan sosial itu ada tujuannya, bukan sekadar rezeki dadakan,” ujarnya dengan tegas.
Hilman juga menyadari bahwa akar dari permasalahan tersebut adalah lemahnya sistem pendataan yang berlaku saat ini. Ia bahkan menduga persoalan ini tidak terbatas di Tasikmalaya, melainkan terjadi secara nasional. “Kelemahan terbesar kita ada pada kualitas data. Ini harus menjadi fokus pembenahan,” tandasnya.
Ia pun mendorong agar ke depan Pemerintah Kota Tasikmalaya mengembangkan kebijakan sosial yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat di lapangan, serta mempertimbangkan pendekatan berbasis kearifan lokal.