KOROPAK.COM – JAKARTA – Sejumlah anggota Komisi IX DPR RI menilai kebijakan pemerintah yang menetapkan uang saku peserta Program Magang Nasional setara dengan upah minimum merupakan langkah yang wajar dan proporsional. Mereka menegaskan, kebijakan ini tidak menurunkan martabat para lulusan perguruan tinggi.
Anggota Komisi IX dari Fraksi NasDem, Irma Suryani Chaniago, menjelaskan bahwa dana yang diterima peserta bukanlah gaji melainkan bentuk dukungan finansial dari pemerintah selama masa pelatihan kerja.
“Tidak ada yang direndahkan di sini, baik itu lulusan S1 maupun S2. Kalau ingin menambah keterampilan dan mendapatkan uang saku, tentu ini hal positif. Sekali lagi, itu bukan gaji, tapi uang saku dari pemerintah,” kata Irma sebagaimana dilansir dari laman Kompascom, Selasa (14/10/2025).
Menurut Irma, Program Magang Nasional bersifat vokasional, menitikberatkan pada pengalaman kerja nyata di dunia industri. Dengan begitu, para peserta memperoleh tambahan kemampuan yang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. “Setidaknya, peserta akan mendapatkan skill baru sesuai kebutuhan tenaga kerja nasional maupun global,” tambahnya.
Besaran uang saku selama enam bulan, lanjut Irma, akan disesuaikan dengan Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tempat peserta magang bekerja. Ia juga mengingatkan agar magang tidak disamakan dengan pekerjaan penuh waktu.
“Program ini bukan hanya memberi uang saku dan keterampilan bagi pemagang, tapi juga membantu perusahaan memperoleh calon tenaga kerja berpengalaman,” ujarnya.
Senada, anggota Komisi IX dari PKB, Zainul Munasichin, menilai kebijakan berbasis UMR atau UMK merupakan patokan paling objektif. “Menyesuaikan dengan upah minimum kabupaten/kota itu rasional, karena sudah ada ketentuannya. Lagipula, status mereka bukan pekerja tetap,” ujarnya.
Ia juga menilai tudingan bahwa kebijakan ini merendahkan sarjana terlalu berlebihan. “Kalau dibilang menghina sarjana, itu keliru. Mereka belum pekerja penuh, jadi wajar bila uang sakunya mengacu pada UMR,” jelas Zainul.
Namun, kebijakan ini menuai kritik dari Koalisi Serikat Pekerja, Partai Buruh (KSP–PB). Ketua Partai Buruh, Said Iqbal, menilai pemberian uang saku setara Upah Minimum Provinsi (UMP) terlalu rendah dan tidak sebanding dengan kontribusi peserta di perusahaan.
“Bayangkan, lulusan sarjana di Karawang hanya menerima Rp2 juta per bulan, atau Rp2,5 juta di Bekasi. Siapa yang diuntungkan? Pengusaha, bukan sarjana,” kata Said dalam konferensi pers daring, Senin (13/10/2025).
Ia menambahkan, pemerintah telah menganggarkan Rp389 miliar untuk program selama enam bulan dengan kuota 20.000 peserta. Said juga menilai program ini tidak sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan, karena pemagangan seharusnya hanya ditujukan bagi peserta didik, bukan lulusan baru.
“UU jelas menyebut pemagangan itu untuk orang yang masih dalam pendidikan, bukan sarjana yang sudah lulus,” tegasnya.