Koropak.com – Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah menjadi indikator penting bagi dinamika politik di tingkat lokal maupun nasional.
Sejak era reformasi, Pilkada langsung telah berperan sebagai salah satu fondasi utama dalam memperkuat otonomi daerah dan demokrasi lokal. Namun, belakangan ini, muncul berbagai usulan untuk merevisi undang-undang yang mengatur Pilkada.
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang sedang dibahas di DPR memicu banyak perdebatan, terutama mengenai apakah perubahan ini akan memperkuat demokrasi lokal atau malah mengarah pada sentralisasi kekuasaan.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pilkada langsung menjadi simbol dari desentralisasi kekuasaan.
Desentralisasi ini diharapkan mampu memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk dalam memilih pemimpin daerah yang dianggap paling mampu membawa perubahan.
John McGinnis, dalam bukunya “The Origins of Democracy” (2007), menegaskan bahwa desentralisasi kekuasaan adalah fondasi dari demokrasi yang sehat, karena memungkinkan masyarakat lokal untuk memiliki suara yang lebih kuat dalam menentukan arah pemerintahan di daerah mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, muncul berbagai permasalahan dalam pelaksanaan Pilkada langsung. Misalnya, fenomena politik uang, meningkatnya konflik sosial, dan rendahnya kualitas kepemimpinan di beberapa daerah.
Dalam artikel yang diterbitkan di Kompas pada 23 Maret 2021, peneliti politik dari LIPI, Siti Zuhro, menyebut bahwa tantangan terbesar dari Pilkada langsung adalah bagaimana mengurangi dampak negatif dari politik transaksional yang sering terjadi dalam proses pemilihan tersebut.
RUU Pilkada yang sedang dibahas saat ini di DPR membawa berbagai perubahan yang kontroversial. Salah satu poin utama dari RUU ini adalah pengembalian Pilkada dari sistem pemilihan langsung ke sistem pemilihan oleh DPRD.
Argumen yang sering dikemukakan oleh pendukung RUU ini adalah bahwa pemilihan oleh DPRD akan mengurangi biaya politik yang tinggi dan mengurangi potensi konflik sosial.
Namun, di sisi lain, banyak pihak yang khawatir bahwa perubahan ini justru akan mengembalikan kekuasaan ke pusat, mengurangi partisipasi politik rakyat, dan memperlemah demokrasi lokal.
Dalam sebuah wawancara dengan Majalah Tempo pada 15 Juli 2023, mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, menyatakan mengembalikan Pilkada ke DPRD adalah langkah mundur yang akan membatasi hak-hak politik masyarakat lokal untuk memilih pemimpin mereka secara langsung.
Jimly juga menegaskan ini merupakan bentuk sentralisasi kekuasaan yang berbahaya bagi demokrasi.
Hal senada juga diungkapkan oleh guru besar ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Dr. Mochtar Pabottingi, dalam bukunya Politik Lokal di Indonesia (2020).
Ia menggarisbawahi bahwa perubahan sistem Pilkada ini akan membuka peluang bagi elit politik di tingkat pusat untuk mengontrol proses pemilihan di daerah, yang pada akhirnya akan mengurangi akuntabilitas pemimpin daerah terhadap konstituen mereka.
RUU Pilkada hemat penulis tidak hanya mengandung risiko sentralisasi kekuasaan, tetapi juga menghadapi tantangan dalam implementasinya. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa pemilihan oleh DPRD benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat lokal.
Dalam penelitian yang diterbitkan oleh Jurnal Politik pada Desember 2022, disebutkan bahwa sistem pemilihan oleh DPRD cenderung lebih rentan terhadap pengaruh oligarki politik, dimana keputusan diambil berdasarkan kepentingan elit politik, bukan kepentingan rakyat.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa perubahan ini akan mengurangi kualitas kepemimpinan daerah.
Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, dalam sebuah diskusi di Jakarta pada 25 Juni 2023, pemimpin daerah yang dipilih oleh DPRD mungkin lebih loyal kepada partai politik yang mengusungnya ketimbang kepada rakyat yang seharusnya mereka layani. Hal ini bisa berdampak negatif pada kualitas layanan publik di daerah.
Dalam konteks ini, hemat penulis penting untuk mengkaji kembali tujuan utama dari revisi undang-undang Pilkada ini.
Apakah perubahan yang diusulkan benar-benar bertujuan untuk memperbaiki sistem politik lokal, ataukah hanya menjadi alat bagi elit politik untuk mempertahankan kekuasaan?
Buku Pilkada dan Demokrasi di Indonesia karya Firman Noor (2019) mengingatkan kita bahwa setiap perubahan dalam sistem politik harus selalu dilandasi oleh kepentingan rakyat, bukan kepentingan elit.
RUU Pilkada menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi lokal di
Indonesia. Jika revisi ini disahkan, apakah ini akan menjadi akhir dari demokrasi lokal yang selama ini dibangun dengan susah payah? Atau justru apakah ada peluang untuk memperbaiki sistem Pilkada langsung tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi?
Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia pada Januari 2024, mayoritas masyarakat Indonesia (sekitar 65 persen) masih mendukung Pilkada langsung sebagai bentuk partisipasi politik yang nyata.
Ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia masih percaya bahwa mereka harus memiliki suara dalam menentukan pemimpin daerahnya.
Namun, dukungan ini juga disertai dengan harapan bahwa sistem Pilkada langsung dapat diperbaiki untuk mengurangi berbagai permasalahan yang selama ini muncul.
Di sisi lain, peneliti dari Institute for Democracy and Economic Affairs (IDEAS), Rahmat Bagja, dalam tulisannya di Harian Kompas pada 10 Februari 2024, menyarankan agar pemerintah fokus pada perbaikan regulasi dan pengawasan dalam pelaksanaan Pilkada langsung, daripada mengubah sistemnya secara drastis.
Menurutnya, penguatan lembaga pengawas pemilu, penegakan hukum yang tegas terhadap praktik politik uang, dan pendidikan politik bagi masyarakat adalah langkah-langkah yang lebih efektif untuk memperbaiki demokrasi lokal.
Kesimpulan
RUU Pilkada menjadi cermin dari tarik-menarik antara dua kekuatan: demokrasi lokal dan sentralisasi kekuasaan.
Di satu sisi, desentralisasi yang diwujudkan melalui Pilkada langsung telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pemilihan pemimpin daerah, sebuah langkah maju yang memperkuat otonomi daerah dan demokrasi lokal.
Namun, revisi undang-undang yang sedang dibahas di DPR memunculkan kekhawatiran akan kembalinya kekuasaan ke tangan elit pusat, yang dapat mereduksi hak politik masyarakat.
Meskipun argumen efisiensi biaya dan pengurangan konflik sosial sering
diutarakan sebagai alasan untuk kembali ke sistem pemilihan oleh DPRD, kekhawatiran akan sentralisasi kekuasaan dan berkurangnya partisipasi politik rakyat tidak bisa diabaikan.
Sebuah sistem yang memungkinkan pemimpin daerah lebih loyal kepada partai daripada kepada rakyat yang mereka wakili berpotensi merusak kualitas demokrasi di tingkat lokal.
Masa depan demokrasi lokal di Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Apakah RUU Pilkada akan memperkuat atau justru melemahkan fondasi demokrasi yang telah dibangun selama ini? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita sebagai bangsa memilih untuk menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi rakyat.
Alih-alih mengubah sistem secara drastis, pemerintah seharusnya fokus pada perbaikan regulasi, pengawasan, dan penegakan hukum yang lebih kuat dalam Pilkada langsung.
Dengan demikian, hemat penulis demokrasi lokal dapat terus tumbuh, memberikan suara dan harapan bagi masyarakat di seluruh pelosok negeri.
Tian Rahmat,S.Fil – Guru di St Fransiskus Xavenrius Ruteng