Koropak.com – Stunting masih menjadi masalah serius di Indonesia, khususnya di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Meski angka stunting berhasil diturunkan dari 17,58 persen pada tahun 2020 menjadi 10,75 persen pada tahun 2023, namun sayangnya angka tersebut kembali meningkat menjadi 11,78 persen pada tahun 2024.
Hal tersebut tercatat oleh Sistem elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) pada semester pertama tahun ini.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tasikmalaya sendiri menduga, kenaikan sebesar 1,03 persen itu merupakan kasus stunting baru.
Ketua Persatuan Ahli Gizi (Persagi) Kota Tasikmalaya, Feni Yulita menyebut, salah satu penyebab anak stunting karena meremehkan penyakit batuk dan pilek.
“Pantauan saya di lapangan, kebanyakan, anak yang sakit seperti demam, batuk, dan pilek itu tidak dianggap penyakit oleh ibunya. Dibiarkan dan dianggap normal,” ujarnya.
Lantaran batuk dan pilek itu dianggap remeh, menurut Feni, banyak orang tua yang tidak mengobati anaknya.
“Akhirnya, berat badan anaknya turun. Bulan depan, begitu lagi. Kalau ibunya ditanya anaknya itu sakit apa, jawabannya ‘eggak apa-apa, cuma batuk-pilek,’ begitu,” ucapnya.
Dengan demikian, banyak anak yang sebelum masuk usia 2 tahun, ketika mengalami batuk pilek malah dianggap remeh oleh orang tuanya.
“Nah, barulah pada saat si anak menginjak usia 2 tahun, anak itu masuk kategori stunting, karena enggak ada perkembangan yang baik pada tubuhnya. Jadi tidak naik-baik berat badannya,” imbuhnya.
Bahkan tak jarang orang tua yang tidak peduli jika berat badan anaknya tidak mengalami kenaikan.
“Jadi, kasus anak stunting baru itu, artinya bukan berarti dari bayi lahir saja. Misal, di Kecamatan Kawalu itu, yang tidak naik berat badannya setiap bulan itu sekitar 1.000 anak lebih,” tuturnya.
Lebih lanjut, untuk yang tidak naik sudah 50 persen dari semuanya. Sehingga, bisa jadi dari sana muncul kasus anak stunting yang baru.
“Nah, konteks anak stunting baru ini, sebetulnya dia lahir dalam kondisi normal. Hanya saja, dalam perkembangannya, berat badan si anak tidak ada kenaikan terus, lama-lama pendek, dan akhirnya masuk kategori stunting,” ujarnya.
Terkadang, tambah Feni, itu yang tidak bisa dipantau langsung mengingat jumlah anak di Kota Tasikmalaya itu mencapai ribuan
“Per semester tahun 2024, dari Januari sampai Agustus, yang dinilai atau yang di diduga masuk kategori stunting itu, jika dilihat dari kasus bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), memang tidak terlalu banyak untuk tahun ini,” tambahnya.
Akan tetapi, lanjut Feni, justru kasus stunting baru pada usia anak di atas 2 tahun ini yang lumayan sulit untuk ditanggulangi.
“Itu yang agak susah. Kalau di bawah 2 tahun bisa dikejar, cepat, tapi kalau yang sudah di atas 2 tahun, susah,” jelasnya.
Menurut Feni, kasus stunting baru pada usia anak yang menginjak 2 tahun, bisa terjadi karena faktor makan, lingkungan, sakit, dan lain sebagainya.
“Misal, harusnya anak usia 2 tahun ini tingginya 120 centimeter, tapi dia itu 119 centimeter. Banyak yang seperti itu. Awalnya 2 tahun pertama normal. Banyak yang normal. Kebanyakan ‘kan di usia 2 tahun ke atas masuk kategori stuntingnya,” ucapnya.
Di Kecamatan Kawalu, kata Feni, tercatat sebanyak 371 anak yang berusia 2 tahun ke atas masik kategori stunting. “Itu tuh dari total 517 anak. Lebih dari setengahnya,” ucapnya.
Feni juga mengungkap, untuk pencegahan anak stunting, harus dilakukan dari berbagai sektor.
“Lingkungan rumah harus bersih. Itu saja dulu. Terus, suami jangan merokok dekat anak-anak. Kalau bisa, si anak itu dikasih protein hewani. Nah, kebanyakan di Kecamatan Kawalu itu, hasil dari penelitian mahasiswa, anak-anak itu kurang protein,” ungkapnya.
Feni menambahkan, kebanyakan dikasih makan sayur, sedangkan mereka, supaya bagus butuh protein hewan. “Buktinya, kemarin anak yang dikasih Pemberian Makaan Tambahan (PMT) lokal 2 bulan yang program Dapur Masyarakat Khusus Stunting (Damakus) Pemkot Tasikmalaya, itu ada kenaikan, kalau dia dikasihnya betul-betul dan intens. Tapi begitu dilepas saja, malah turun lagi,” katanya.
Kendati demikian, menurut Feni, kasus stunting tidak hanya pada faktor makanan saja.
“Jadi, stunting itu bukan karena makan aja sih, dari lingkungan juga. Lingkungan jelek, bapak merokok, anak jadi sakit, sudah sakit anaknya, jadi susah makan, mana makanannya kurang bervariasi, tambah lagi ekonomi kurang. Jadi lingkaran itu yang perlu diperbaiki juga. Susah dipecahnya,” ungkapnya.
Lain hal dengan wasting atau gizi buruk, mengingat permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan secara terus menerus diberi suplai makanan yang bergizi.
“Tapi stunting, susah, karena faktornya banyak. Dari semua faktor itu, Dinkes paling tidak mampu menangani 30 persennya dari lingkaram yang terdiri dari banyak faktor itu, karena sisanya ‘kan 70 persen itu dari faktor lain,”pungkasnya.